Bulan Juli 1927, sekelompok pemuda revolusioner yang tergabung dalam Algemeene Studieclub mendirikan partai baru: Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Waktu itu suasana Hindia-Belanda masih memanas pasca pemberontakan anti-kolonial yang disponsori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di bulan November 1926. Pemberontakan gagah-berani itu menemui kegagalan. Puluhan ribu orang ditangkap di seluruh Hindia-Belanda. Sementara 1300-an orang dibuang ke Boven Digul, Papua.
Namun, seakan tak mengenal takut, PNI mengambil program dan strategi perjuangan yang mirip PKI. Program PNI terang-benderang: Indonesia merdeka sekarang! Bagi PNI, perbaikan kembali kehidupan rakyat Indonesia hanya mungkin melalui jalan kemerdekaan nasional.
PNI juga menempuh jalan radikal: non-koperasi alias menolak kerjasama dengan pihak kolonialis. Tak hanya itu, PNI juga mengambil strategi ‘massa aksi’ sebagai senjata untuk menggulingkan kolonialisme dan imperialisme.
Yang paling menakutkan bagi penguasa kolonial adalah program politik PNI yang ingin merebut ‘kekuasaan politik’ dari tangan penguasa kolonial untuk kemerdekaan rakyat jajahan.
Untuk mencapai tujuannya itu, PNI menyusun rencana. Tahun 1928 dicanangkan sebagai ‘tahun propaganda’. Panggung-pangung propaganda, terutama rapat akbar atau vergadering, diselenggarakan di mana-mana. Dalam waktu singkat, Soekarno muncul sebagai ‘singa podium’. Kursus-kursus dan sekolah-sekolah PNI juga berdiri di mana-mana untuk merangkul massa marhaen.
Kemudian, di tahun 1929, usai menggelar Kongresnya, PNI memasuki fase perjuangan baru: aksi dengan perbuatan. Dalam fase ini, PNI hendak menggerakkan massa marhaen untuk melawan kekuasaan kolonial. Lantaran makin radikal, PNI mulai ditekan oleh penguasa kolonial. Hampir semua pertemuan dan rapat-rapat umum PNI dijaga ketat oleh aparat bersenjata kolonial.
Tetapi Soekarno dan PNI-nya tak gentar. Untuk memperbesar kekuatan, PNI menggalang blok politik bernama Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI), yang menghimpun semua partai dan organisasi nasionalis, termasuk yang moderat. Langkah ini membuat penguasa kolonial mulai ketar-ketir.
Saat itu, melalui koran-koran kolonial, berhembus isu mengenai rencana pemberontakan PNI. Konon, pemberontakan itu akan meletus di tahun 1930. Saat itu, PNI berencana mengambil kesempatan pada saat meletusnya perang pasifik untuk melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan.
Karena itu, sebelum pemberontakan itu benar-benar datang, Belanda mengambil tindakan duluan. Pada 24 Desember 1924, pemerintah kolonial memerintahkan penggeledahan dan penangkapan semua pemimpin pergerakan di Hindia-Belanda.
Tanggal 29 Desember 1929 malam, seusai berpidato di sebuah rapat akbar di Jogjakarta, Soekarno dan kawan-kawannya ditangkap. Mereka digiring keluar rumah dengan todongan senapan. Soekarno dan kawan-kawan kemudian digiring, dengan menggunakan kereta api, menuju penjara Bantjeuj, Bandung.
Soekarno resmi ditahan di penjara Bantjeuj tanggal 30 Desember 1929. Hari itu juga, di seluruh Jawa, terjadi penggeledahan dan penangkapan tokoh-tokoh PNI. Termasuk 40-an tokoh pimpinan PNI. Belanda, yang masih trauma dengan pemberontakan PKI, menuding PNI menyiapkan pemberontakan bersenjata di tahun 1930.
Pidato ‘Indonesia Menggugat’
Di penjara Bantjeuj, Soekarno ditahan di penjara isolasi berukuran satu setengah meter. Ia dilarang berhubungan dengan dunia luar. Bacaan-bacaan pun terlarang bagi Soekrno.
Namun, Soekarno tak patah arang. Ia berhasil menarik simpati seorang sipir keturunan Indonesia, Sariko. Sariko inilah yang menyelundupkan informasi dan koran kepada Soekarno.
Soekarno juga punya agen rahasi yang militan: Inggit Garnasih, istrinya. Inggit-lah yang rajin menyelundupkan bacaan-bacaan progressif ke penjara Soekarno. Bahkan, untuk mengelabui penjaga yang berlapis, buku-buku ini diselipkan di balik kebayanya.
Sementara itu, proses pemeriksaan Soekarno jalan terus. Selama 27 hari, yakni 18 agustus-29 September 1930, Soekarno dan kawan-kawan menjalani proses verbaal di Landraad Bandung. Selain proses verbal itu, sidang ditambah dengan pembacaan pledoi Soekarno tanggal 1 Desember 1930.
Yang menarik, Soekarno yang aktivis politik itu berhasil menggunakan ruang persidangan sebagai panggung politik untuk menangkis tuduhan kolonial terhadap dirinya dan sekaligus mempropagandakan cita-cita politiknya. Puncaknya adalah saat Soekarno membacakan pledoinya yang berjudul “Indonesia Menggugat”.
Pidato Indonesia Menggugat ini sangat menarik. Kendati digarap di dalam ruang penjara yang gelap dan pesing, isi pidato itu sangat menggelegar dan menohok jantung kekuasaan kolonial. Pidato itu juga menelanjangi kebusukan imperialisme dan kapitalisme.
Naskah pidato itu kaya dengan literatur. Setidaknya, ada 60-an tokoh dan pemikir yang disitir oleh Soekarno. Mulai dari tokoh marxis, nasionalis, humanis radikal, hingga kaum etisi Belanda. Tokoh marxis yang dikutip, antara lain: Karl Marx, Karl Kautsky, Henriette Roland Holsts, Jean Jaures, Troelstra, dan Sneevliet.
Sementara tokoh nasionalis yang dikutip, diantaranya: Sun Yat Sen, Mazzini, Sarojini Naidu, dan Mustafa Kamil. Dari kalangan ekonom ada Rudolf Hilferding. Dari kalangan sastrawan ada August de Wit. Dari kalangan intelektual belanda ada Prof Snouck Hurgronje dan Prof J Pieter Veth. Dan masih banyak lagi.
Yang juga menarik, dalam memperkuat argumentasinya, Soekarno membeberkan data-data konkret. Misalnya, data soal jumlah luas tanah yang dikuasai perkebunan kolonial. Juga data tentang keuntungan yang dibawa pergi oleh perusahaan-perusahaan Belanda dan kapitalis asing lainnya dari tanah Hindia-Belanda.
Inti pidato Soekarno itu bisa dipilah dalam beberapa sub: soal pengertian imperialisme dan kapitalisme, praktek imperialisme di Indonesia, pergerakan rakyat Indonesia, tentang PNI dan program perjuangannya, dan tentang cita-cita Indonesia Merdeka.
Soekarno mendefinisikan kapitalisme sebagai sistim pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dan alat-alat produksi. Lantaran itu, kata Soekarno, nilai lebih yang dihasilkan kaum buruh tidak jatuh ke tangan kaum buruh, melainkan ke tangan kaum majikan.
Sementara imperialisme, kata Soekarno, adalah sebuah nafsu atau sistem yang menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri lain. Menurutnya, imperialisme tidak hanya dijalankan dengan bedil atau meriam, tetapi juga dengan ‘putar lidah’, ‘cara halus-halusan’, dan penetrasi damai.
Soekarno juga membagi dua jenis imperialisme berdasarkan cara mengakumulasi keuntunganya, yakni imperialisme tua dan imperialisme modern. Imperialisme tua, sebagaimana dijalankan oleh East India Company (EIC) dan VOC, adalah imperialisme yang ditopang dengan cara-cara akumulasi primitif. Sedangkan imperialisme modern, yang mulai merambah Hindia-Belanda di abad ke-19 dan 20, berdasarkan kelimpahan modal dan pembangunan industri besar.
Di naskah pidato itu, Soekarno juga membeberkan empat ciri imperialisme modern: pertama, menjadikan Indonesia sebagai tempat pengambilan bekal hidup; kedua, menjadikan indonesia sebagai negeri tempat pengambilan bekal-bekal (bahan baku) bagi pabrik-pabrik di eropa; ketiga, menjadikan Indonesia sebagai pasar penjualan barang-barang hasil dari berbagai industri di eropa; dan keempat, menjadikan Indonesia sebagai tempat atau lapang usaha bagi penanaman modal asing.
Soekarno menegaskan bahwa partainya, PNI, jelas-jelas menjadikan imperialisme dan kapitalisme sebagai musuhnya. Hanya saja, kata Soekarno, ketika melancarkan kritik atau serangan, PNI tidak pernah menggunakan ‘kritik palsu’ dan subjektif. Sebaliknya, PNI menggunakan kritik rasional dan ilmiah.
Soekarno juga mengungkapkan basis objektif lahirnya pergerakan rakyat di Indonesia. Menurutnya, tiap-tiap bangsa atau umat manusia yang ditindas akan bangkit melawan. “Jangankan manusia, cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit,” tulis Soekarno.
Menurut Soekarno, sejak awal abad ke-20, rakyat Indonesia sudah bangkit. Mereka sudah muak dengan imperialisme dan kolonialisme. Karena itu, Soekarno menampik tudingan ‘penghasut’ yang dialamatkan kepada kaum pergerakan. Ia menjelaskan, lahirnya pergerakan rakyat itu adalah hasil dari kesengsaraan dan kemelaratan akibat penindasan kolonialisme Belanda.
Soekarno juga menampik tudingan pemerintah kolonial bahwa PNI sedang mempersiapkan pemberontakan bersenjata. Dia bilang, kendati PNI menggukan istilah “aksi dengan perbuatan”, bukan berarti PNI menghalalkan cara kekerasan: bedil, bom, dan dinamit. Bagi PNI, senjata perlawanannya bukanlah bedil dan bom, melainkan organisasi massa yang mengakar kuat di kalangan kaum buruh dan marhaen.
PNI juga tidak mau tawar-menawar dengan cita-cita kemerdekaan. Bagi PNI, kemerdekaan nasional merupakan satu-satunya jalan untuk memperbaiki kehidupan rakyat. PNI juga pantang mengemis-ngemis meminta kemerdekaan kepada penjajah. PNI teguh pada prinsip: non-koperasi dan self-help. Di sidang pengadilan, Soekarno berteriak lantang: Indonesia Merdeka oleh revolusi!
Tetapi pidato Soekarno yang menggebu-gebu itu tidak mengubah jalan pikiran pengadilan kolonial. Soekarno tetap dijatuhi hukuman penjara selama 4 tahun. Namun, bagi saya, bukan soal bagaimana pidato itu bisa membebaskan Soekarno dari hukuman, tetapi pengaruhnya bagi kebangkitan gerakan rakyat di kemudian hari.
EmoticonEmoticon